Selasa, 14 Juni 2011

Awassss ….. Pemerintahan SBY Siap Menjual Natuna ke USA
OPINI | 06 January 2011 | 19:40 576 18 Nihil



Saya yakin kita semua sudah maklum bahwa pemerintah kembali menunjuk Exxon (bersama Total & Petronas) untuk menjadi patner Pertamina mengelola blok Natuna (Natuna Timur, d/h Natuna D-Alpha), melalui penandatangan HoA pada tanggal 3/12/2010 dan 17/12/2010 yang lalu.

Saya concern atas penunjukan Exxon karena perusahaan ini sudah menipu kita dengan pola bagi hasil 100% : 0% (pemerintah RI dapat 0%!) pada kontrak Natuna yang lalu. Seharusnya perusahaan ini di black list, bukan malah diberi kesempatan baru. Selain itu, saya juga khawatir bahwa yang akhirnya ditunjuk menjadi operator bukan Pertamina tapi Exxon! Berdasarkan pengalaman Cepu, Dirut Pertamina pada waktu itu menyatakan siap jadi operator, tapi pemerintah menunjuk Exxon. Sekarang, Dirut Pertamina kembali menyatakan siap jadi operator Natuna, namun pemerintah belum mengukuhkannya. Bahkan Dijen Migas mengatakan, Pertamina ditunjuk pemerintah untuk mencari patner, tukan …. untuk jadi operator…. Apakah sejarah akan berulang, bahwa SBY tunduk kepada pemerintah Amerika?

Mari kita mulai menggalang aksi untuk melakukan advokasi. Mari membuat pernyataan sikap, menuntut DPR, menulis artikel sebanyak-banyaknya. Potensi Natuna itu 6 kali lebih banyak dibanding potensi Tangguh. Nilai ekonomisnya pada harga minyak US$ 80/barel adalah sekiar Rp 6000 triliun. Sekarang harga minyak naik menjadi US$ 90/barel, nilanyapun naik jadi Rp 6750 tiliun!

Dibawah ini tulisan tentang Natuna (SINDO, 6 Januari 2011) sebagai awal perjuangan kita.

Selamat berjuang!

wass,
marwan

Nasib Pertamina di Natuna

Oleh: Marwan Batubara, Indonesian Resources Studies, IRESS

12943175411203036474Pada hari Jumat tanggal 3 Desember 2010 Pertamina dan ExxonMobil (EM) telah menandatangani pokok-pokok perjanjian (Head of Agreement, HoA) pengembangan Blok Natuna Timur (dulu bernama Natuna D-Alpha). Selanjutnya, pada tanggal 17 Desember 2010, Pertamina kembali menandatangani HoA dengan Total Indonesie dan Petronas (Sindo, 20/12/2010). HoA masih merupakan kesepakatan awal menuju suatu kontrak kerja sama (KKS) yang permanen. Namun kami sangat prihatin atas penetapan EM sebagai salah satu mitra Pertamina. Tulisan ini membahas concerns tersebut dalam hal-hal terkait kebijakan pemeritah, operatorship, sejarah EM di Natuna, kondisi geopolitik dan rencana laju ekstraksi/pengurasa n gas.

Pertama, sikap pemerintah terkait Natuna dapat ditelusuri dari berbagai pernyataan pejabat yang tidak konsisten, dan diduga sebagai bentuk ketidakberdayaan pada asing. Pada tanggal 25 Januari 2007, Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro menyatakan: “Sejak Januari 2007 pemerintah menetapkan Blok Natuna D-Alpha sebagai wilayah terbuka migas (Investor Daily 26/1/2007)”. Namun hal ini langsung dibantah dengan lantang oleh VP EM, Maman Budiman, yang menyatakan: “Itu tidak pernah disampaikan kepada EM”, sehingga EM mengklaim masih merupakan operator Natuna.

Pada tanggal 2 Juni 2008, melalui surat No. 3588/11/MEM/ 2008, Menteri ESDM menyatakan menunjuk Pertamina untuk “mengelola” Natuna. Namun Dirut Pertamina, Ari Soemarno menyatakan membutuhkan kejelasan tentang status EM: “Terutama soal hukumnya, sudah selesai apa belum, karena ada pihak yang mempermasalahkan itu”. Atas keraguan Dirut Pertamina ini, Menteri ESDM berkata: “Apa yang perlu dipertanyakan lagi? Keputusan menyerahkan blok itu ke Pertamina sudah melalui sidang kabinet yang dipimpin Presiden, dan ada surat Menteri ESDM” (Bisnis Indonesia, 11/12/2008).

Keraguan Dirut Pertamina memang beralasan, karena ternyata setelah terbitnya surat penunjukan Pertamina tersebut, EM masih pede bersikap sebagai operator, dan dibuktikan dengan penyerahan Plan of Development
(PoD) Natuna kepada BP Migas pada tanggal 30 Desember 2008. Sikap confidence EM menyerahkan PoD diiringi dengan pernyataan Maman Budiman (Kompas, 9/1/2009): “EM masih berhak di Natuna. Sesuai kontrak Natuna
PSC, pengajuan PoD adalah langkah sebelum deadline berakhir”. Kenapa Maman begitu yakin?

Ternyata EM memang masih diakui sebagai operator Natuna… Buktinya, pada Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR RI tanggal 2/1/2009, Kepala BP Migas mengakui bahwa EM telah diberi perpanjangan kontrak
pada Januari 2007 dan berikutnya pada Januari 2008 (Investor Daily, 3/1/2009). Dengan demikian, tidak salah jika Dirut Pertamina ragu melakukan aksi-aksi korporasi, meskipun Purnomo mengatakan sudah ada penunjukan melalui Kepmen No. 3588 atau bahkan kesepakatan sidang kabinet yang dipimpin Presiden BEYE.

Akrobat pernyataan pejabat di atas dapat diartikan sebagai penyembunyian informasi, sekaligus bentuk ketundukan kepada asing. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika akhirnya pemerintah “melanjutkan” dukungan pada EM, dan memerintahkan Pertamina memilih EM sebagai patner dengan penandatanganan HoA pada tanggal 3 Desember 2010 yang lalu.

Kedua, pemerintah tidak segera menunjuk Pertamina sebagai opertor Natuna. Disamping melanggar kosntitusi, hal ini tidak sesuai dengan visi dan program pemerintah yang ingin membesarkan Pertamina. Keengganan menunjuk Pertamina ini sama seperti yang terjadi pada Blok Cepu (2006). Saat itu Dirut Pertamina menyatakan sanggup menjadi operator Cepu, namun yang ditunjuk adalah EM. Sekarang (Republika, 9/12/2010), Dirut Karen Agustiawan pun telah menyatakan kesiapan Pertamina memimpin eksploitasi Natuna. Namun sikap pemerintah
tampaknya sama seperti pada Blok Cepu.

Dirjen Migas, Evita H. Legowo mengaku tidak bisa memutuskan permintaan Pertamina menjadi pemegang saham mayoritas Natuna. Disebutkan bahwa pemerintah tidak pernah menunjuk Pertamina sebagai operator. “Suratnya
(maksudnya Surat No.3588) diserahkan kepada Pertamina untuk cari patner. Tak disebut masalah operator” kata Evita (Antara, 6/12/2010). Dengan pernyataan ini kita khawatir, yang akhirnya kelak ditunjuk sebagai operator adalah EM. Jika demikian, jelaslah jika amanat konstitusi diabaikan dan kebijakan untuk membesarkan national oil company (NOC) sebagaimana berlaku di seluruh dunia, tidak berlaku pada Pertamina dan pemerintahan (BEYE) Indonesia.

Ketiga, pemerintah masih memilih EM sebagai mitra Pertamina, padahal Negara Republik Indonesia telah dicurangi dengan pola bagi hasil 0% (RI) : 100% (EM) pada kontrak Natuna (1980-an) sebelumnya. Pola curang
seperti ini lumrah dilakukan oleh negara-negara penjajah di seluruh dunia. Kita memahami tingginya kandungan CO2 memerlukan biaya ekstra untuk memisahkannaya, sehingga pola bagi hasil 70% : 30% dapat saja tidak relevan. Namun, biaya ekstra tersebut tidaklah demikian besar sehingga penerimaan negara berubah dari 70% menjadi 0%! Biaya ekstra tersebut pasti jauh lebih kecil dibanding pendapatan yang seharusnya diterima negara.

Biaya pemisahan CO2 seharusnya didanai menggunakan pendapatan gas yang diproduksi, tanpa merubah pola umum bagi hasil 70% : 30%. Berdasarkan informasi di lapangan, biaya operasi pemisahan CO2 (menggunakan proses absorpsi atau membran) berkisar antara 2% hingga 10% dari gas yang diproduksi. Hal ini dapat diamati pada ladang Grissik yang dioperasikan oleh Conoco-Phillips atau ladang Sleipner di Norwegia yang dioperasikan oleh Statoil. Disamping memisahkan CO2, ladang Statoil sekaligus menyimpan (mengasingkan) CO2 ratusan meter di (aquifer) bawah dasar laut. Dengan demikian, sangat absurd dan aneh jika pemerintah masih juga memberi kesempatan kepada EM yang telah bersikap sebagai penjajah dan berencana menghisap kekayaan negeri ini
di Natuna.

Keempat, seorang pejabat pemerintah menyatakan EM perlu dijadikan mitra di Natuna karena situasi geopolitik dan kepentingan keamanan. Jangan-jangan kekhawatiran ini sengaja disebarkan untuk menjustifikasi penunjukan EM. Namun terlepas dari itu, Natuna bukanlah wilayah sengketa yang diperebutkan banyak negara seperti halnya Kepulauan Spratly. Selain itu, Indonesia adalah negara berdaulat yang mempunyai wilayah dan batas negara yang jelas. Kita juga memegang sikap poilitik yang bebas dan aktif. Adalah hak kita untuk melakukan apa saja dan berpatner dengan siapa saja dalam wilayah negara kita tanpa tergantung pada negara lain. Dengan demikian, secara geopolitis, pemerintah seharusnya tidak punya alasan apapun untuk tunduk dan mengikutsertakan EM mengelola Natuna.

Kelima, pernyataan EM bahwa eksploitasi akan berlangsung sekitar 30 tahun harus digugat. Kita menginginkan Natuna dieksploitasi dengan memperhatikan aspek-aspek keekonomian, kelestarian lingkungan dan etika berkelanjutan untuk generasi mendatang. Gas Natuna terutama harus dialokasikan untuk domestik. Dengan potensi sebesar 46 tcf (46.1012 x 1/5.487 barel oil equivalent,boe x $80/boe = US$ 670.68 billion = Rp. 6036,08 triliun), seharusnya Natuna dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan domestik, minimal selama 92 tahun (laju produksi 0,5 tcf atau 500 bcf per tahun). Prinsip kuras sebanyak-banyaknya dalam waktu secepat-cepatnya seperti berlaku di Arun atau Badak sudah bukan jamannya lagi untuk diterapkan karena hanya menguntungkan kontraktor dan menyisakan kemiskinan bagi daerah penghasil dan generasi mendatang.

Tulisan ini kami buat sebagai komitmen dukungan kepada pemerintah agar berani menegakkan kedaulatan negara dan harga diri bangsa. Dengan minimal lima alasan di atas, kami meminta pemerintah BEYE untuk
membatalkan HoA dengan EM dan segera menunjuk Pertamina sebagai operator Natuna. Kami tidak rela negara ini terus diremehkan asing, sebagaimana kami pun tidak berharap pemerintah BEYE bersikap lemah kepada mereka. Selain itu, Indonesia harus bebas memilih yang terbaik bagi rakyatnya: Pertamina adalah operator Natuna yang akan memproduksi gas dengan laju ekstraksi terkendali, sehingga kebutuhan domestik dan
ekonomi berkelanjutan dapat terpenuhi.

catatan BapaeOgi : Artikel ini mampir di milist yang saya ikuti. Karena memuat kebenaran menurut saya, serta penting untuk disebarluaskan yang memang diamanatkan oleh penulisnya maka saya kirim ke kompasiana agar menjadi pemikiran bersama, memperjuangkan agar kekayaan alam Indonesia tidak dijual dibawah tangan baik itu atas nama personal seperti jaman Soeharto dulu ataupun atas nama korporasi dan partai yang memang perlu modal besar untuk bertempur di 2014. Bila sependapat silakan untuk disebarluaskan lebih jauh ke milist yang Bapak Ibu kompasianer ikuti. Mudah-mudahan bisa mencegah kesalahan yang akan dibuat pemerintah bila tetap menunjuk Exxon sebagai operator dan mengkerdilkan pertamina.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar