Senin, 06 Juni 2011

Air Laut Naik, Surabaya Pertama Tengelam

SURABAYA POST -  Perubahan iklim yang cepat di kutub utara termasuk mencairnya es di Greenland berpotensi meninggikan permukaan air laut di seluruh dunia sekitar 1,6 meter. Bahkan di Indonesia  kini tiap tahun sudah ada kenaikan air laut sekitar 0,5 -1 centimeter (cm).

Diprediksi, Surabaya menjadi wilayah yang pertamakali tenggelam bila air laut naik empat meter di 2050 karena merupakan dataran paling rendah di Jawa Timur, yaitu hanya sekitar 2 meter di atas permukaan laut.

“Seluruh kawasan di pantai utara termasuk Surabaya dan Madura rawan. Kalau selatan Jatim masih cukup aman karena ketinggian tanahnya cukup dan berbukit-bukit,” ujar Pakar Geologi dan Mitigasi Bencana dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Amien Widodo saat dihubungi, Selasa 10 Mei 2011.

Namun menurutnya ancaman yang sudah di depan mata adalah kelangkaan sumber air bersih serta kerusakan infrastruktur.

Amien menjelaskan faktor yang bisa memperparah naiknya permukaan air laut adalah karena eskploitasi air tanah yang berlebihan. Kondisi tersebut dialami oleh Jakarta yang air tanahnya sudah terkuras habis. Akibatnya kehilangan air tanah, struktur tanah menjadi lemah dan berakibat pada turunnya permukaan tanah.

“Kondisinya di Jakarta diperparah dengan pembangunan kawasan pantai yang tidak berorientasi lingkungan serta ambrolnya tanggul,” jelasnya.

Permasalahan yang terjadi di Jakarta tersebut, seharusnya menjadi perhatian untuk wilayah Surabaya yang memiliki kontur dan kondisi geografis hampir sama. Surabaya perlu untuk menjaga eksploitasi air tanah agar tidak berlebihan. Terutama pengusaha hotel, apartemen, dan restoran yang mengambil air tanah dalam jumlah besar.

“Kontrol terhadap pengambilan air tanah perlu dilakukan. Seharusnya itu dilaporkan dan dikontrol dengan baik,” ujarnya.

Upaya lain, adalah dengan menyiapkan tanaman yang mampu bervegetasi dengan air laut. Penanaman pohon mangrove merupakan salah satu cara untuk mencegah kenaikan air laut. Demikian juga dengan struktur bangunan yang akan digunakan yang dirancang untuk bisa kedap dan tahan dengan air laut. “Itu mungkin akan berbiaya besar, namun kerugian jika tidak dilakukan itu akan lebih besar. Ini perlu jadi perhatian bersama,” katanya.

Dia juga mengatakan, sebenarnya Pulau Madura harus lebih khawatir dibanding Bali. Pasalnya, Bali memiliki Gunung Agung yang tingginya ribuan meter.

Tetapi untuk beberapa pulau di Kepulauan Madura banyak yang memiliki tingkat elevansi di bawah air laut. Akibatnya pulau tersebut bisa tenggelam dan muncul lagi jika keadaan air laut sedang surut.

Menurut penelusuran di Wikipedia, Surabaya berada pada dataran rendah dengan ketinggian antara 3 - 6 m di atas permukaan laut kecuali di bagian Selatan terdapat 2 bukit landai yaitu di daerah Lidah dan Gayungan ketinggiannya antara 25 - 50 m diatas permukaan laut dan di bagian barat sedikit bergelombang. Surabaya juga memiliki muara Kali Mas, yakni satu dari dua pecahan Sungai Brantas.

Selain Surabaya, pesisir pantai Utara Jawa Timur yang ketinggiannya hampir sama dengan permukaan laut di antaranya Tuban, Lamongan, Gresik, Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo dan Situbondo.

Sementara, kawasan di Pesisir Utara  Jawa Timur yang termasuk mengalami tekanan berat akibat dampak pembangunan adalah  kawasan Selat Madura dan pesisir selatan Kabupaten Pamekasan, Sampang, Bangkalan, Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan dan Probolinggo.

Sebelumnya, ilmuwan dunia mengatakan meningginya permukaan air laut ini melebihi perhitungan para ilmuwan sebelumnya. Kenaikan ini bisa mengancam pantai Bangladesh hingga Florida, dari Inggris hingga Shanghai. Selain itu, kenaikan ini juga bisa mengancam Jepang.

"Dalam kurun enam tahun terakhir, terjadi periode terhangat di kutub utara," ungkap Arctic Monitoring and Assessment Program (AMAP). “Di masa depan, permukaan air laut diproyeksikan naik dari 0,9 meter hingga 1,6 meter di 2100,” lanjutnya.

Mencairnya es Kutub Utara dan lapisan es Greenland turut andil mempengaruhi kenaikan ini. “Es kutub utara dan Greenland menyumbang 40 persen kenaikan air laut dengan pergerakan 3 mm/tahun sejak 2003-2008,” paparnya lagi.

Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) mengungkapkan, hanya dalam waktu dua tahun dari 2005 hingga 2007, sedikitnya 24 pulau kecil di wilayah Indonesia telah tenggelam. Mayoritas pulau kecil yang tenggelam tersebut akibat abrasi air laut yang diperburuk oleh kegiatan penambangan untuk kepentingan komersial.

Naiknya permukaan air laut akibat perubahan iklim juga mengancam keberadaan Pulau Bali yang hanya seluas 5.634,40 hektar.

Yang pertama tenggelam adalah Pulau Nusa Penida, Klungkung. Eksistensi pulau ini yang terancam diberi perhatian khusus dalam konferensi perubahan iklim atau United Nation Climate Change Conference (UNFCCC) yang digelar tahun 2007 lalu di Bali.

"Ya, Pulau Nusa Penida adalah pulau yang paling rentan terkena dampak perubahan iklim di Bali. Rekomendasi UNFCCC 2007 lalu pulau itu dijadikan pilot project. Bantuan banyak yang digelontor di sana," kata Kepala Dinas Pekerjaan Umum Bali, Dewa Punia Asa  kepada VIVAnews.com.
Prediksi Direktur Yayasan Wisnu, I Made Suarnatha bahkan lebih mengerikan. Tak hanya Nusa Penida yang terancam, tapi Bali secara keseluruhan. Jika tak diantisipasi, bencana itu akan datang pada 2050. "Saat itu, air permukaan laut naik 4 meter. Jadi tak hanya Nusa Penida, Sanur, Denpasar dan Bali secara keseluruhan pasti tenggelam," katanya saat dihubungi VIVAnews, Minggu 8 Mei 2011.

Dikatakan, berdasarkan rekomendasi pertemuan perubahan iklim tersebut, Pemerintah Bali memiliki komitmen untuk mempublikasikan hasil tindaklanjut terkait gelontoran proyek percontohan di Nusa Penida. Hanya saja, I Made Suarnatha tak mengetahui persis program yang dilakukan Pemerintah Bali. "Tidak ada laporan yang diumumkan kepada publik. Sehingga kita tidak tahu apa yang sudah dilakukan, bagaimana progresnya dan bagaimana mitigasi potensi perubahan iklim di Nusa Penida," katanya.

Sementara, masyarakat Bali pun tak tinggal diam. Ada kampanye Nyepi internasional (world silent day) yang gencar dilakukan aktivis lingkungan hidup sejak beberapa tahun belakangan. Selain itu, adopsi kearifan lokal untuk diakui secara internasional itu terus menerus disuarakan dengan cara menggalang tanda tangan sesuai persyaratan PBB. "Dari hasil pertemuan itu juga ada Bali Map, yang merupakan peta internasional dari Bali untuk memerangi perubahan iklim," paparnya.

"Karena Bali sudah melakukan sesuatu, maka pemerintah dan negara-negara besar tak boleh berpangku tangan. Sederhananya, jika Anda cinta Bali, maka lakukan sesuatu," desaknya.

Untuk mengetahui lebih detil tentang ancaman tersebut, ia meminta kepada pemerintah untuk konsisten memperjuangkan world silent day agar diadopsi menjadi kebijakan nasional dan internasional. Selain itu, ia juga meminta kepada Pemerintah Provinsi Bali untuk mempertanggungjawabkan hal tersebut dengan cara memberikan laporan resmi terkait tindakan mitigasi perubahan iklim yang telah dilakukan. "Itu saja dulu yang mesti dilakukan. Kalau berhasil, meski hanya menambah waktu saja, tetapi kita telah berbuat banyak dan sangat berarti untuk Bali, Indonesia dan dunia internasional," tegasnya.

"Kita tunggu komitmen pemerintah dan dunia internasional untuk memerangi karbondioksida penyebab perubahan iklim," sambungnya.

Selain Nusa Penida, sejumlah pulau lain di Indonesia juga terancam tinggal nama. Di antaranya Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Pulau Solor di NTT, Pulau Wetar, Obi, dan Kai di Maluku serta Pulau Gag di Papua. (sj)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar